Aku teringat sebuah kisah suami istri. Pelajaran tentang
kesetiaan yang memiliki pengaruh cukup berbahaya. Sang suami yang sedang berkesah.“Jika saya harus sanggup
setia pada istri, dia pun harus sanggup bersetia pada saya,” kata saya pada
diri sendiri. Pemikiran seperti itu membuat saya menjadi pencemburu. Kuawasi
setiap gerak-geriknya oleh karena itu dia tidak bisa pergi kemana- mana tanpa
seizin saya. Hal itu mulai menebar bibit pertengkaran diantara kami berdua.
“Pengekangan seperti itu seperti dalam sebuah penjara” keluh istri dalam
hatinya. Dia semakin tidak bisa menerima. Semakin dijadikan alasan untuk bisa
pergi ke mana-mana dan kapan saja dia suka. Semakin aku mengekangya semakin
bebas dia bertindak semakin aku naik darah. Penolakan untuk saling bicara sudah
menjadi hal yang biasa bagi kami berdua. Saya pikir istriku tidak cukup
bersalah mengahadapi pengekangan dariku. Bagaimana mungkin gadis sejujur dan
sepolos itu tidak menuruti kemauanku. Sepertinya aku memang keterlaluan. Hanya
sekedar berkunjung ke rumah temanpun aku melarangnya? Aku mulai menyadari betapa egoisnya aku. Jika
aku memiliki hak melarangnya, bukankah ia juga memiliki hak yang sama? Semua
itu dapat aku pahami sekarang. Aku mencintainya dan diapun sama. Betapa
hancurnya dia ketika aku tak mempercayai kesetiaanya apalagi terjadi pada
seorang perempuan yang sepatutnya aku sayangi bukan untuk dikekang. Aku
pun mendapat jawabanya. Saya tak pernah lagi mencintainya dengan penuh
kekangan. Saya melonggarkannya dari jeratan dan melepasnya. Diapun bebas dan
semakin menghormatiku. Dia mulai mengerti maksudku selama dia masih dalam
jalurku aku akan menyayanginya dengan sepenuh hati. Kehidupan pun berangsur
angsur berubah menjadi indah karena cinta dan kebebasan.
"Aku ingin hidup sungguh-sungguh hidup ! Hidup untuk berpikir dan berkarya dengan bebas.... Aku bebas"